STARNEWSID.COM, JAKARTA — Carut marut kelangkaan minyak goreng membuat masyarakat jadi panik. Subsidi minyak goreng pun membuat kian parah kelangkaan. Karena banyak pengusaha dan toko-toko serta ritel menyembunyikan minyak goreng karena tidak mau merugi.
Akhirnya pemerintah mencabut kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) minyak kelapa sawit.
Minyak goreng muncul lagi di ritel-ritel lagi dengan harga normal tanpa subsidi
Keputusan itu dilontarkan Menteri Perdagangan (Mendag), Muhammad Lutfi, usai sebelumnya pemerintah juga memutuskan untuk mencabut harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan.
“Permendagnya telah dikeluarkan dan dalam 5 hari akan berlaku,” kata Lutfi usai melakukan sidak ketersediaan minyak goreng di Pasar Senen, Jakarta, Kamis lalu.
Sebelumnya, dengan kebijakan DMO, pemerintah mewajibkan eksportir crude palm oil (CPO) dan RBD palm olein memasok 30% dari volume ekspornya ke pabrik minyak goreng dalam negeri.
Setelah dicabut, Lutfi mengatakan, nantinya kebijakan DMO akan diganti dengan pengenaan tarif pajak yang besar atas ekspor CPO.
Kelapa sawit.
“Tidak ada lagi DMO. Tapi jadi begini, DMO-nya itu diganti dengan mekanisme namanya pajak. Jadi kalau pajaknya gede, jadi orang akan jualnya di dalam negeri lebih untung daripada di luar negeri,” tutur Lutfi.
Adapun pada kebijakan DPO, eksportir harus menjual CPO dan RBD palm olein kepada produsen minyak goreng dengan harga yang ditetapkan pemerintah. Untuk CPO, harganya Rp9.300 per kilogram (kg), dan RBD palm olein Rp10.300/kg atau Rp9.364/liter.
Dengan dicabutnya kebijakan DPO, pemerintah akan memberikan subsidi untuk penjualan minyak goreng curah menggunakan dana dari Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dengan subsidi, maka minyak goreng curah wajib dijual seharga Rp14.000 per liter ke masyarakat.
Menurut Lutfi, dana BPDPKS cukup untuk disalurkan sebagai subsidi, karena tarif pungutan ekspor sawit yang dikelola juga naik seiringan dengan lonjakan harga CPO di pasar internasional.
Minyak goreng sudah muncul di pasar tradisional.
Lutfi mengatakan, saat ini total biaya yang ditanggung para eksportir sawit, yakni bea keluar dan pungutan ekspor mencapai 675 dolar AS per metrik ton (MT).
“BPDPKS itu nanti akan mendapatkan uangnya dari tambahan bea keluar, dari tambahan pungutan ekspor. Hitungan kita sekarang dengan harga hari ini, yang tadinya pungutan ekspor dan bea keluar jumlahnya 375 dolar AS per MT, sekarang ditambah 300 dolar jadi 675 dolar AS per MT. Dengan begitu BPDPKS akan mendapatkan uang yang cukup untuk memastikan pemerintah hadir dengan harga Rp14.000/liter,” tutur Lutfi.
Sementara itu, untuk minyak goreng kemasan, dijual dengan harga yang mengikuti fluktuasi di pasar.
“DPO tidak ada, karena ini semua akan menggunakan mekanisme pasar dan akan dikerjakan melalui subsidi dari BPDPKS. Jadi mestinya karena begitu disparitas harga tidak terlalu tinggi, dan barang mestinya sudah hadir,” ujar dia.
Dengan dicabutnya kebijakan DPO, pemerintah akan memberikan subsidi untuk penjualan minyak goreng curah menggunakan dana dari Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dengan subsidi, maka minyak goreng curah wajib dijual seharga Rp14.000 per liter ke masyarakat.
Menurut Lutfi, dana BPDPKS cukup untuk disalurkan sebagai subsidi, karena tarif pungutan ekspor sawit yang dikelola juga naik seiringan dengan lonjakan harga CPO di pasar internasional. Dia mengatakan, saat ini total biaya yang ditanggung para eksportir sawit, yakni bea keluar dan pungutan ekspor mencapai 675 dolar AS per metrik ton (MT).
“BPDPKS itu nanti akan mendapatkan uangnya dari tambahan bea keluar, dari tambahan pungutan ekspor. Hitungan kita sekarang dengan harga hari ini, yang tadinya pungutan ekspor dan bea keluar jumlahnya 375 dolar AS per MT, sekarang ditambah 300 dolar jadi 675 dolar AS per MT. Dengan begitu BPDPKS akan mendptkan uang yang cukup untuk memastikan pemerintah hadir dengan harga Rp14.000/liter” tutur Lutfi.
Sementara itu, untuk minyak goreng kemasan, dijual dengan harga yang mengikuti fluktuasi di pasar.
“DPO tidak ada, karena ini semua akan menggunakan mekanisme pasar dan akan dikerjakan melalui subsidi dari BPDPKS. Jadi mestinya karena begitu disparitas harga tidak terlalu tinggi, dan barang mestinya sudah hadir,” ujar dia.
Adapun HET minyak goreng kemasan sederhana yang sebelumnya berlaku, ialah Rp13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan sederhana Rp14.000 per liter. Sedangkan, HET minyak goreng curah tetap berlaku, akan tetapi naik dari Rp11.500 per liter menjadi Rp14.000 per liter.(*)